Kamis, Oktober 25, 2007

Pentingnya Mencegah Thalasemia Mayor

Anak rekan saya mengidap penyakit ini. Makanya saya jadi penasaran dengan si Thalasemia yang katanya mematikan. Ya manusianya, ya kantongnya. karena biaya perawatannya yang muahal. Adakah cara untuk menghindari penyakit ini? Ato setidaknya anak turun kita bisa bebas dari si cantik Thalasemia? Mungkin artikel berikut bisa mewakilinya. Diambil dari Kompas, jum'at 2 Juni 2006.
Di Indonesia, tidak banyak orang yang paham apa yang dimaksud dengan penyakit thalasemia mayor. Padahal, di antara kita ada ratusan ribu orang-orang pembawa sifat thalasemia yang bisa diturunkan kepada anak-anak mereka.
Biaya yang harus ditanggung untuk pengobatan thalasemia pun sangat fantastis. Jika 5.000-an penderita thalasemia mendapatkan perawatan memadai, biaya yang harus dikeluarkan mencapai Rp 1,25 triliun per tahun.
Menurut perhitungan, seorang pasien penderita thalasemia memerlukan biaya untuk perawatan sebesar Rp 250 juta per tahun. Ini untuk biaya transfusi darah, peralatan, perawatan, obat desferal, dan keperluan lain, seperti menyewa/membeli alat pompa infus. Angka tersebut di luar biaya dokter.
Kenyataan yang memprihatinkan, dari 5.000-an penderita thalasemia mayor, 85 persen umumnya berasal dari keluarga miskin. Karena keterbatasan biaya, maka mereka terpaksa menjalani pengobatan secara tidak maksimal. Suntikan desferal yang idealnya diberikan 20 hari, hanya bisa 5-10 hari. Dengan realitas seperti ini, sampai umur berapakah anak-anak penderita thalasemia bisa bertahan?
Ketua Pusat Thalasemia Indonesia Prof Dr Iskandar Wahidijat SpA(K) memaparkan, thalasemia adalah suatu penyakit genetik/keturunan yang diturunkan dari kedua orangtua. Kedua orangtua secara klinis sehat, tetapi karena keduanya sebagai pembawa sifat dan kebetulan gen yang buruk bertemu pada satu anak, maka ini yang disebut thalasemia mayor.
Yang menjadi masalah adalah ketika si anak menerima gen yang jelek dari ibu dan ayah. Ini yang berat. Tidak jarang belum berusia satu tahun sudah harus ditransfusi. Hidupnya bergantung pada transfusi darah karena umur sel darah merahnya tidak panjang.
Sel darah merah pada orang normal umurnya tiga-empat bulan. Namun, pada penderita thalasemia, hanya satu-dua bulan sel darah merahnya sudah hancur. Ini yang disebut anemia. Thalasemia mayor adalah suatu jenis anemia yang berbeda, disebabkan karena tidak cukupnya hemoglobin.
Harus transfusi
Hampir semua penyakit genetik/keturunan sampai sekarang belum ada obatnya. Obatnya adalah transfusi darah. Ironinya, pasien thalasemia justru meninggal karena transfusi, seperti kelebihan zat besi dan penyakit yang didapat dari donor (hepatitis B, hepatitis C, dan HIV).
Dampak lain transfusi adalah penimbunan zat besi. Akumulasi zat besi merupakan konsekuensi yang tidak dapat dihindari dari transfusi darah dan dapat mengancam nyawa, dapat menyebabkan kerusakan hati, jantung, dan kelenjar hormon.
Tubuh tidak memiliki mekanisme alami untuk membuang kelebihan zat besi sehingga proses pengikatan zat besi digunakan sebagai pengobatan yang efektif untuk kelebihan zat besi. Pada proses pengikatan zat besi, obat mengikat zat besi yang terdapat pada tubuh dan jaringan serta dapat membantu membuangnya melalui urine atau kotoran. Sejak tahun 1985 telah digunakan desferal (deferoxamine), yang diberikan melalui infus dengan pompa yang harganya 350 dollar AS per pompa.
Pemakaian pompa suntik ini menyakitkan bagi anak-anak. Bagian tubuh yang diinfus menjadi nyeri dan bengkak sehingga mengurangi tingkat kepatuhan berobat. Ini jelas membahayakan mereka jika tidak rutin melakukan kelasi/mengeluarkan timbunan zat besi.
Novartis, produsen desferal pun mengembangkan riset dan menemukan pengobatan oral untuk mengikat zat besi dalam tubuh dengan diminum sekali sehari, yakni deferasirox (nama generik), yang 20 Mei lalu diluncurkan di Bangkok, Thailand, untuk kawasan Asia Pasifik. Di Indonesia, produk ini akan diluncurkan awal Juni 2006.
Dengan obat baru ini, biaya perawatan pasien thalasemia bisa lebih ditekan karena tidak perlu lagi menggunakan pompa infus yang mahal harganya. Namun, tetap harus diwaspadai efek sampingnya, seperti mual.
"Kalau obat baru ini bisa di-cover oleh Askes, maka akan sangat membantu pasien yang miskin, apalagi lebih murah dari desferal," kata Prof Iskandar Wahidijat. Menanggapi harapan Prof Iskandar, dr Rosa Ch Ginting Betr Med MHP, Kepala Divisi Pelayanan Kesehatan Askes Sosial, menyatakan, pihak Askes akan menilai dulu efektivitas dan keamanan obat itu.
Pencegahan
Penyakit thalasemia bisa menyebar ke segala aspek. Ke liver, hati, jantung, dan organ tubuh lainnya. Perlu banyak biaya untuk menanganinya. Jadi, yang paling penting adalah pencegahan. Kalau pemerintah melaksanakan pencegahan, biaya yang harus dikeluarkan akan sangat berkurang. Contohnya di Yunani, Italia, Siprus, dan Turki. Dengan mencegah kelahiran anak thalasemia mayor, uang yang dihemat luar biasa besarnya.
Oleh karena itu, Pemerintah Indonesia harus punya program pencegahan. Di Siprus, mereka berupaya menurunkan angka kelahiran anak-anak dengan thalasemia mayor hampir 90 persen. Pemerintah pun bisa melakukan screening atau pemeriksaan darah seperti saat mengambil SIM. Dengan begitu, masing-masing bisa mengetahui apakah kita pembawa sifat thalasemia atau bukan. Dengan mengetahui kondisi kita, orang-orang pembawa sifat thalasemia bisa menghindari pernikahan dengan sesama pembawa sifat untuk menghindari kelahirkan anak-anak dengan thalasemia mayor.
"Tentu kita tidak bisa melarang pernikahan sesama pembawa sifat, silakan saja menikah. Di Siprus, yang beragama Ortodox Yunani, saat mereka akan menikah, gereja selalu menanyakan: apakah kamu sudah diperiksa thalasemia? Jika belum, mereka harus memeriksakan diri terlebih dahulu," tutur Prof Iskandar.
Jika keduanya ternyata pembawa sifat, tetap diperbolehkan menikah. Akan tetapi, saat si istri hamil, pada kehamilan 10 minggu dia harus memeriksakan diri ke pusat thalasemia untuk diperiksa apakah si janin thalasemia mayor atau tidak.
Pasangan sesama pembawa sifat kemungkinan melahirkan anak yang menderita thalasemia mayor sebanyak 25 persen, anak yang normal 25 persen, dan anak-anak yang menjadi pembawa sifat 50 persen. Di Siprus, jika ternyata si janin menderita thalasemia mayor, pusat thalasemia akan memberikan pemahaman risiko seperti apa yang harus ditanggung orangtua, termasuk soal tingginya biaya yang diperlukan, mengingat seumur hidup anak itu memerlukan transfusi darah. Bagi orangtua yang tidak siap memiliki anak thalasemia mayor, ada pilihan menghentikan kehamilan. Pencegahan seperti itulah yang dilakukan negara-negara tersebut.
Di Indonesia, pemerintah belum melihat persoalan thalasemia dan masih sibuk dengan kasus-kasus infeksi. "Jadi, kalau bisa kita cegah. Jangan menambah pasien thalasemia mayor. Bayangkan, saya pernah ketemu seorang ibu yang empat anaknya jadi pasien saya. Ibu itu tahu empat anaknya akan meninggal. Bagaimana perasaannya? Ada lagi yang anaknya 11 orang, lima di antaranya thalasemia mayor. Bayangkan...," kata Prof Iskandar Wahidijat. (LOK)

2 komentar:

  1. wa.. salut mbak
    blog-nya lengkap amat
    macam2 info ada
    jadi siapapun yg mampir, pasti dapat sesuatu yg menarik baginya
    apalagi saya yg tertarik sama banyak hal
    pokoknya bisa ber-jam2 kalo baca blog ini
    makasih ya mbak atas sajian beragam info-nya
    sukses terus ya :)

    BalasHapus
  2. Anonim9:50 AM

    Sorry for my bad english. Thank you so much for your good post. Your post helped me in my college assignment, If you can provide me more details please email me.

    BalasHapus